Agustus 2008
Kambojaku
di
Langit Bogor
|
|
Helmy
Nur IS
Hari
ini aku nekat. Entah setan golongan apa yang sukses merayuku. Aku baru dengar
kalau lomba itu untuk semua kalangan siswa. Ku pikir hasil tunjukan guru saja
yang boleh ikut. Itu pun aku tau barusan dari Anam, salah satu temanku yang
udah siap-siap buat lomba itu sejak
beberapa minggu silam. Sedangkan aku sendiri, yang hanya berbekal harga
diri, langsung aja mutusin ikut, dengan ijin orang tuaku tentunya. Meski butuh
perjuangan keras mendapat ijin mereka.
“Ayolah
Yah.. kapan lagi anakmu yang bodo ini bisa bersaing dengan pelajar-pelajar di
seluruh penjuru Nusantara Indonesia,”
bujukku pada Ayah di telepon. Terdengar parno memang, tapi itulah usaha kerasku
merayu Ayah di rumah.
“Ya
sudah..ya sudah.. nanti tantemu yang akan nganterin uang ke asrama. Pesan Ayah,
jaga diri baik-baik. Perjalanan ke Bogor
itu nggak deket.”
“Yoi,
Yah. Insya Allah Nuri bisa jaga diri. Assalamu’alaikum.”
Tanpa
basa basi lagi, aku sms Anam.
To : Anam
Assalamu’alaikum,Nam.
Q jd ikt.
bsk brgkt jam brp?
Oia,sp ja yg ikt?
From : Anam
Wa’alaikumsalam. Bsk kumpul
d’skul jm 10 pgi.
Yg fis: Q n k’ Ramli.
Kim: km n Adi(brklompok,1 kel.
2 org)
Bio: Husna, Ima,n d’
Rahman(brklompk,1kel. 3 org)
Kom: d’ Dedi
To: Anam
Trims
ats infox.Wassalam..
Esoknya,
semua berkumpul di gerbang sekolah
kecuali Anam dan Kak Ramli. Mereka masih ngurus surat ijin keberangkatan kami ke Kepsek. Wah,
keliatannya wajah-wajah mereka tampak bersemangat. Pasti karena masing-masing
otak mereka telah terisi berjuta-juta rumus, yang telah mereka kuasai tentunya.
Tapi…
“Wah,
kayaknya semuanya udah mentok belajarnya ya. Nggak kayak aku yang nekat ikut
tanpa persiapan,” Husna mengawali perbincangan.
“Hei kita
sama dong,” hampir semua barengan nanggapi Husna, juga aku tentunya.
“Ku
pikir cuma aku yang berangkat tanpa persiapan,” Husna kembali menimpali.
“Ku
pikir juga begitu,” barengan lagi. Kompak. Yang ini juga tanpa persiapan.
“Berarti
yang udah siap cuma Anam dan Kak Ramli?” ucapku lirih.
“Ku
dengar memang udah lama mereka siap-siap. Katanya sih, mereka dapet tantangan
dari SMA Prima Bakti. Jadi, mereka tambah semangat ,” jelas Ima.
“Kalian
masih punya waktu kok nyiapinnya. Lombanya kan masih beberapa hari lagi. Aku emang
sengaja ngajak berangkat awal di samping karena penyakitku, kalian juga ada
waktu untuk persiapan kan?!”
Suara Kak Ramli ngagetin semuanya.
Akhirnya
setelah pamit pada guru-guru dan teman-teman, kami berangkat naik bus. Kebayang
nggak kalau kami berangkat tanpa guru seorang pun. Padahal pamitku pada Ayah
ada guru yang ikut serta. Eh, malah di luar perkiraan. Entah kenapa, tapi
katanya semua sibuk dengan urusan masing-masing. Maklum. Lain halnya dengan SMA
Prima Bakti tentunya. Selain didampingi guru, katanya mereka juga dibiayai
sekolah. Emang pantes soalnya ada Yayasan yang naungi mereka. Tapi tak apalah,
meski gitu aku tetap cinta pada sekolahku ini, SMA Pertiwi.
Kira-kira
perjalanan Gresik-Surabaya butuh waktu dua setengah jam. Sekarang kami udah
sampai di Stasiun Pasar Turi. Ini adalah kali pertamaku ke Stasiun. Lebih
tepatnya aku belum pernah naik kereta api. Tiba-tiba aku ingat film Harry
Potter. Aku jadi berpikir sekarang aku adalah dia yang bentar lagi akan nembus
tembok peron 9¾. Tapi pastinya nggak akan aku lakuin kalau nggak ingin disangka
orang kesurupan.
Nggak
nyangka matahari udah nggak nemenin kami lagi. Dia udah bertukar tugas tuh sama
bulan. Untung aja si bulan mau, buktinya dia lagi cengar-cengir sekarang nemenin anak-anak nekat yang lagi tidur, kecuali
aku. Aku udah bangun karena tadi aku yang tidur duluan. Yang terjaga hanya aku
dan dek Dedi. Dia kebagian jam piket jaga. Yang cowok emang piket jagain
barang-barang. Yang cewek ya tinggal tidur pulas. Entah kereta ini udah di
daerah mana. Yang ku tau kereta Economic Class ini melaju menuju Stasiun Pasar Senen.
Lama-kelamaan mataku pun terpejam kembali.
“Tuut…Tuut…Tuut…”
Suara
ini bener-bener bikin telinga bising. Tiba-tiba terbesit pikiran ngeri dari
otak anak malang
ini. Berarti suara sangkakalanya Isrofil akan lebih dahsyat daripada ini(so
pastilah Bro).
“Kita
turun sini kak?”tanya Adi.
“Katanya
kak Aziz sih gitu. Tunggu! ku tanya dulu ya,” kak Ramli lalu ngambil
handphonenya terus mencet-mencet beberapa tombol. Dia nelpon kak Aziz, salah
satu alumni SMA Pertiwi yang kuliah di IPB. Katanya sih dia yang akan bantuin kami
selama disana.
“Katanya
kak Aziz turun di stasiun Jatinegara ini juga bisa. Tapi biasanya kalau Kak
Aziz sendiri turun di Stasiun Manggarai. Tapi khawatir nanti nggak kebagian
kereta jurusan Bogor
jadinya turun disini aja,” jelas Kak Ramli.
“Terserah
kak Ramli aja deh,”ucap Rahman.
Kami
pun turun. Pemandangan beda kurasakan. Di sekitar stasiun ini bertebaran
rumah-rumah kumuh berpenghuni. Miris hati ngeliatnya emang. Di sekitar
rumah-rumah itu pastilah bakteri dan penyakit sedang menari dan berdansa
gembira. Gembira karena mangsa-mangsa mereka tak kunjung pergi. Bukannya sang
penghuni betah tapi inilah pilihan hidup. Berani memilih berarti berani
mengambil resiko. Mereka berani ninggalin kampung halaman cuma buat taruhan
nasib di ibukota tanpa pikir jangka panjang.
Parnoku kambuh lagi.
Bukannya aku tak beda jauh dari mereka yang berani berangkat tanpa modal. Tapi kan resikoku beda dengan
mereka. Paling-paling kalah. Tapi mereka lain. Ah sudahlah, gara-gara ikutan
lomba ini pikiranku jadi kemana-mana.
Ternyata
kami salah turun. Kereta jurusan Bogor
lagi nggak mampir stasiun ini. Kami mesti ke Pasar Senen untuk mendapatkannya.
Benar-benar sial hari ini. Terpaksa kami naik kereta jurusan Pasar Senen lagi.
Beruntung sampai sana
keretanya belum berangkat.
“Wah
inilah resiko kalau nggak pengalaman naik kereta. Jadi sedikit kesasar kan?” ujar Anam.
“Itu kan wajar. Tapi ada
untungnya juga loh. Liat coba disana!” Ima nunjuk keluar jendela. Ternyata kami
bentar lagi akan lewat Monas. Aku segera bergegas ngambil kamera videoku.
Maklum belum pernah ke Jakarta
sih. Jadi, naluri ndesoku muncul.
Perjalanan
Jakarta-Bogor lumayan lama. Sekitar menghabiskan waktu hampir dua jam. Melelahkan juga
perjalanan ini, pikirku. Ternyata bukan cuma melelahkan, tapi merontokkan
sendi-sendi tulangku. Pasalnya, setelah sampai Bogor, kami mesti nyewa angkutan. Maklum kami
kan
rombongan.
“Sudahlah
Dek, bayar 50ribu aja deh. IPB itu lumayan jauh loh. Apalagi IPB Dermaga.
Itupun saya sudah kasih murah loh sama adek,” sopir ini mulai mengoceh membujuk
kami.
Bagi kami yang nggak
pengalaman, setuju aja sama ucapannya. Habisnya mau diapain lagi. Badan udah
rontok semua. Rasanya ingin keburu melempar diri di kasur empuk sambil ada yang
mijitin. Habis itu berendam di air kembang kamboja sambil ngemil (ngayal
Bro).
Ternyata
Kak Aziz udah nungguin kami di jalan.
Terus kami
di bawa ke rumah kontrakannya. Jarum jam ternyata udah geser ke angka sepuluh
pagi. Tak terasa perjalanan ini ngabisin waktu yang begitu lama.
“Maaf Dek
rumahnya sempit dan juga sedikit berantakan. Maklumlah mahasiswa,” kata Kak
Aziz sambil bawa minum buat kami.
“Oia, nanti
yang cewek tidur di asrama temen cewek kakak. Tempatnya nggak jauh dari sini
kok. Sekarang duduk-duduk dulu bentar. Pasti capek kan?! Bentar lagi kakak anterin” tambah Kak
Aziz.
“Iya
Kak,”ujarku, Ima Dan Husna.
Nggak
lama kemudian Kak Aziz nepatin janjinya. Dia nganterin kami kesana. Jalan sana sempit dan
muter-muter. Jadi bingung ngafalinnya. Setelah sampai di asrama itu, aku pun
sukses tak ingat sedikit pun.
“Kalian
tinggal disini sekarang. Nanti malem kalau mau makan, hubungi kakak. Kalian
pasti nggak inget jalannya kan?!
Makanya nanti malem kakak akan jemput kalian di sini bareng temen-temen cowoknya,”
jelas kak Aziz.
“Makasih
kak,” ucap kami bertiga sambil berlalu masuk ke dalam asrama yang didampingi salah
satu mbak penghuni.
Kami
pun mengakrabkan diri dengan mbak-mbak asrama ini. Yang nggak ramah ada, yang ramah
banyak. Sifat-sifat manusia beda kan?!
“Kalian
adek kelasnya Aziz ya? Ada
acara apa Dek di sini?” tanya mbak yang
kerudung coklat, namanya mbak Yeni.
“Itu
mbak katanya IPB ngadain acara Pesta Sains. Ya, semacam lomba-lomba sains gitu
mbak,”sahutku.
“Oia,
yang ngadain itu temen-temen fakultas MIPA ,”ujarnya. Maklum dia nggak tau
karena kayaknya mbak Yeni ini fakultas informatika. Aku bisa liat dari
buku-buku yang lagi jejer di kamarnya.
“Kalian
bertiga tidur di kamar depan itu ya. Itu kamar paling luas disini. Jadi insya
Allah muat,” ujar mbak Yeni sambil berlalu pergi.
Sepeninggal
mbak Yeni kami pun mandi terus tidur pulas sepulas-pulasnya, setelah shalat
Dhuhur tentunya. Malamnya, kami cari makan diluar, bareng temen-temen cowok.
Begitulah tiap harinya. Kak Aziz begitu baik bantuin kami bahkan dia juga
ngajari aku dan Adi kimia. Ternyata selain suka computer, kabarnya dia juga
suka kimia. Tapi sehari sebelum lomba dimulai, muncul masalah. Masalahnya
terletak pada aku dan Adi. Ternyata lomba kimia ini berisi tiga orang per
kelompok. Kami salah info lagi rupanya. Malamnya kami dan panitia lomba
berusaha nyelesein masalah ini. Mereka nggak peduli pada kami sepertinya. Malam
itu, nyaris air mataku netes. Aku takut kalau-kalau aku nggak bisa ikut lomba
ini. Jauh-jauh kesini masa nggak dapet apa-apa, pikirku. Apa panitia ini nggak
mikir kalau dia di posisiku rasanya gimana.
“Kami
sebenernya nggak keberatan. Tapi, kami takut peserta lain komplain ke panitia.
Kalau ngirim dua bisa, kenapa harus tiga. Takutnya kayak gitu,” ujar salah satu
panitia.
“Kalau
gitu insya Allah bisa kami atasi. Waktu tehnical
meeting besok aku sendiri yang akan ngejelasin ke semua peserta,” kata-kata
Kak Ramli sedikit menghibur. Kalau udah begitu panitia nggak bisa berbuat
apa-apa. Kami tinggal berdoa semoga para peserta besok nggak kan bikin repot kami.
“Kalau
emang besok pesertanya nggak mau diajak kompromi, kakak jadi berpikir rencana
nakal. Tapi meski itu nggak mungkin,” kata kak Aziz sambil tersenyum.
“Rencana
apa kak?” tanya Adi.
“Aku
yang bakalan ngelengkapi kelompok kalian biar pas tiga orang. Tapi
temen-temenku pasti ngenalin aku,” canda kak Aziz. Ya iyalah, pikirku. Aku jadi
inget peristiwa di sekolah beberapa minggu silam. Salah satu temanku bikin
sensasi. Dia bareng salah satu alumni ikutan lomba. Kalau lolosnya sih pasti. Tapi
pada akhirnya ketauan sekolah kalau mereka curang. Kena marah dia jadinya. Dan
aku nggak akan biarkan itu terjadi padaku.
Ternyata peserta lain nggak ada yang komplain.
Malahan ada peserta dari Singaraja yang
bernasib sama denganku. Paling-paling pikir mereka ngapain ngurusin orang. Toh
urusan mereka mau ngirim dua atau satu orang. Yang penting kan
nggak empat atau lima
dalam satu kelompok. Kalau dipikir-pikir mana ada otak dua bisa ngalahin otak
tiga.
“Gimana udah siap dek? Meski kalian cuma berdua
siapa tau bakalan juara,” hibur kak Ramli. Hatiku berkata amien meski hati lain
berkata itu mustahil terjadi.
“Insya Allah siap kak,”ujarku sambil jalan ke
ruangan lomba.
Ruangan itu adalah aula yang amat luas. Sebelum
masuk aku sempat baca kalau itu adalah gedung wisuda. Gedungnya kayak stadion
bola cuma di bagian atas diberi penutup. Panggungnya di hiasi ornamen-ornamen
mewah. Tetapi nggak terkesan sombong karena ada sentuhan gubuk jerami di
pinggir. Gubuk itu tempat beroperasinya sound
system dan peralatan elektronik lainnya. Ada panggung lagi di sebelah panggung ini.
Cuma sedikit lebih sempit. Disana berdiri sejumlah pria dan wanita. Mereka dari
tadi berceloteh lagu-lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Merdu emang.
Namanya juga paduan suara. Aku nikmatin itu sambil buka-buka buku. Meski cuma
berdua, di hati kecilku ada harapan untuk lolos meski cuma berhenti di semi
final.
Setelah mereka bernyanyi, muncul beberapa penari di
panggung. Aku juga nggak tau tarian apa yang mereka bawa. Mungkin karena aku
bukan pecinta seni. Tapi semuanya terlihat menikmati tak terkecuali Adi di
sampingku, Husna, Ima, dan Rahman di deretan peserta biologi, Anam dan Kak
Ramli di deretan Fisika, dan yang terakhir Dedi di deretan peserta komputer.
Kami dipisahkan menurut bidang masing-masing yang diikuti. Tapi meski gitu kami
bisa liat satu sama lain dari kejauhan, kecuali Dedi yang ada di bawah, tepat
di depan panggung tarian itu. Mungkin dia sedikit sulit mencari kami yang di
atasnya karena emang peserta yang banyak banget. Tapi dia beruntung juga bisa
liat jelas tarian itu.
Tariannya selesai, trus pembawa acaranya keluar.
Mereka mulai deh berbasa-basi ria. Tapi nggak lama lomba ini pun mulai sesaat
setelah pembukaan yang di tandai bunyi gong itu selesai. Soalnya seratus multiple choice di tambah dua essay dalam waktu seratus duapuluh lima menit. Ku akui memang
soalnya hebat. Hebat karena aku dibuat bingung. Mungkin bukan hanya bingung
tapi kepalaku terasa penuh sesak oleh soal-soal ini. Dipikir-pikir itu wajar
karena soal ini emang layaknya dikerjain untuk tiga orang. Jadi, aku dan Adi
kewalahan ngerjainnya. Soal essay pun nggak sempat kami jamah.
Setelah acara pemusingan otak itu, kami
diperintahkan naik bus untuk shalat. Pantas kami naik bus soalnya masjidnya
lumayan jauh. Ternyata IPB luas juga ya. Penyakit kampunganku kumat. Selesai shalat
kami makan siang yang ternyata disediain panitia. Nggak rugi ternyata bayar mahal-mahal.
Habis itu pulang soalnya pengumumannya besok. Harapan sih masih tetep ada meski
berkurang sekian ratus ribu persen setelah ngerjain soal tadi.
Esoknya, pengumuman keluar dan hasilnya aku dan Adi
sukses meraih kegagalan yang sempurna. Diambil sepuluh orang dari sekitar
seratus tigapuluh peserta untuk melaju ke babak semi final. Kami diurutan
limapuluhan. Kami sedikit bangga bisa ngalahin otak tiga yang ada di bawah
peringkat kami. Tapi sebenarnya kalah ya kalah. Mau peringkat berapapun kalau nggak
lolos ya namanya gagal. Tapi, meski kami nggak masuk, ada Anam dan Kak Ramli
yang lolos. Mereka memang hebat. Kalau persiapan sudah matang terus apalagi
yang ditunggu kalau nggak kesuksesan. Kami-kami yang nggak lolos juga sudah
sadar kekurangan masing-masing. Meski tersisa sedikit ketidakikhlasan di hati.
Lain halnya dengan sekolah saingan kami, SMA Prima Bakti. Ada wakil yang lolos di setiap bidang yang mereka
ikuti. Pantaslah kalau mereka lolos. Beda kematangan konsep pastinya. Kami-kami
yang nggak lolos ternyata di hibur oleh seorang pembicara. Namanya Fauzan Ahmad.
Dia benar-benar menghibur, menyemangati, dan mengokohkan kemantapan hati kami
yang agak rapuh. Dia ngasih kami pencerahan kalau kegagalan itu bukan
segalanya. Jangan hanya karena gagal kita jadi putus asa. Kita harus jadi
seorang pemain. Bukan seorang penonton. Kita harus siap ditonton dan pantas
untuk untuk dijadikan tontonan. Jangan hanya mau liat dan nonton saja. Kita
harus bergerak maju sendiri. Itulah beberapa kalimat yang kupetik darinya.
Hatiku benar-benar dicuci waktu itu. Bersih. Benar-benar bersih. Air mataku pun
tak malu-malu keluar. Kayaknya semua yang hadir pada saat itu ngalamin hal yang
sama. Di dada kami muncul semangat baru. Semangat untuk berjuang maju(he..he..
ceritanya insaf ni..).
Usai acara ini kami digiring ke dalam bus untuk shalat.
Setelah itu makan siang dan nonton acara grand final di ruangan-ruangan yang
telah ada sesuai bidangnya. Habis itu aku shalat di salah satu musholla
terdekat. Karena kalau ke masjid terlalu jauh rasanya. Setelah shalat ashar ini
tiba-tiba salah satu guru nemuin aku. Beliau adalah guru SMA Prima Bakti.
“Mbak, mbak ini dari SMA Pertiwi kan? Ramli kecelakaan. Kepalanya berdarah.
Mendingan mbak kesana saja,” ujar beliau sambil nunjuk ke suatu tempat.
“Astagfirullah, makasih ibu,” aku langsung
lari ninggalin ibu itu.
Ternyata benar apa yang ibu itu katakan. Kak Ramli
terlihat kesakitan sambil megang kepalanya yang berdarah. Darah kayaknya nggak
mau berhenti keluar. Kepalanya bocor. Di sekitar kak Ramli ada Anam dan Adi.
Tapi tak lama kemudian Adi keluar sambil membawa tas Kak Ramli. Lalu aku pergi
ke Anam.
“Kak Ramli kok bisa berdarah-darah gitu, Nam?
kejadiannya gimana?” tanyaku.
“Gini loh. Tadi itu kak Ramli lari-lari sambil bawa
kameramu. Dia lewat di bawah tembok tangga itu. Akhirnya karena nggak ati-ati
kepalanya kebentur dan sekarang jadi kayak begitu,” jelas Anam.
“Trus kameraku dimana Nam? Nggak jatuh kan?” aku jadi khawatir dengan kameraku.
Bukannya aku nggak ngawatirin Kak Ramli juga. Tapi Ayah akan mencincangku kalau
tau kameraku kenapa-napa.
“Nggak apa-apa cuma kena sedikit cipratan darahnya
Kak Ramli. Tapi sudah di bersihin kok. Ini..,” Anam nyerahin kameranya ke aku
sambil cengengesan.
Kak Ramli akhirnya dibawa ke rumah sakit untuk
dijahit. Sedangkan aku dan lainnya kembali lagi ke gedung wisuda karena bentar
lagi juara-juaranya akan diumumin. SMA Pertiwi hanya berharap pada Anam dan Kak
Ramli. Kalau SMA Prima Bakti hanya seorang saja soalnya lainnya udah pada
gagal. Kalau begitu kami lumayan sedikit menang.
Acara pengumuman pun di mulai. Teriakan-teriakan
histeris bermunculan kala namanya atau nama temannya disebut. Mereka bangga dan
bahagia. Ternyata aku pun nggak nyangka
kalau kami akan gitu juga. Nama Kak Ramli dan Anam disebut sebagai juara kedua
dan ketiga. Yang begitu mengejutkan juga juara pertama diraih oleh anak SMA
Prima Bakti. Ketiga-tiganya dari Gresik. Hebat. Suara tepuk tangan pun ramai.
Aku pun ikutan bangga meski yang meraih medali itu bukan aku. Aku jadi inget
Kak Ramli. Sayangnya, dia nggak bisa nikmatin momen-momen bahagianya bareng kami
disini.
Acara ini pun selesai. Capek baru kami rasakan
setelah sampai di asrama. Mbak-mbak pun keliatannya capek juga. Kami pun
langsung tidur setelah mandi dan shalat. Karena esoknya kami akan pulang. Tapi
sebelumnya kami mau mampir dulu di Kebun Raya.
Selain Kak Aziz, ada juga alumni SMA Pertiwi
lainnya. Dia Kak Irul. Tapi kuliahnya di IPB Padjadjaran. Dia yang ngajak kami
jalan-jalan ke Kebun Raya. Katanya mumpung lagi di Bogor sayang kalau nggak jalan-jalan. Kami
sih kalau diajak jalan-jalan ya pasti mau. Tapi sayang Kak Ramli nggak ikut
soalnya dia pulang duluan naik pesawat. Mungkin karena luka kemaren. Tapi nggak
begitu parah kabarnya.
Setelah naik angkutan ini itu kami pun nyampek di
Kebun Raya. Namanya juga kebun. Pasti isinya pohon-pohon, rumput dan taneman.
Tapi selain itu tepat di tengah-tengah kebun berdiri megah Istana Bogor. Bagus.
Istana Bogor Bro. Nggak terlalu jauh di depannya, ada telaga yang lagi tiduran
santai santai. Kami pun foto-foto disitu. Habis itu kami ke museum dan terus
mengelilingi kebun sampai benar-benar capek. Itu pun belum semua. Soalnya kebunnya
luas buanget sampai nggak bisa aku gambar disini. Sorry ya,hehe . Dari keasyikan maen sampai kami lupa
mau pulang.
“Wah Dek ini udah siang. Jadi pulang sekarang?
Kayaknya kalau sekarang kita ke Stasiun, keretanya udah berangkat,” jelas Kak
Irul.
“Berangkat Kak? Trus kami gimana?”tanya Dedi.
“Gini aja. Kalian nginep dikontrakan kakak aja dulu.
Trus besok pagi baru pulang. Nanti malem sekalian jalan-jalan. Mumpung di Bogor
loh dek,” ajak Kak Irul. Pikiran Kakak ini kayaknya dipenuhi jalan-jalan dan
jalan-jalan. Tapi apa boleh buat kami toh nggak punya pilihan lain. Akhirnya
semua setuju. Habis dari sini kami akan ngebuntutin Kak Irul ke kontrakannya, terkecuali
si Anam. Katanya, dia mau ke rumah om nya di Jakarta.
Kami pun sampai di kontrakan. Disini penghuninya
kaum Adam semua. Aku jadi sedikit ngeri plus takut.
“Kalian santai aja. Yang cewek tidur di kamar kakak
disana. Yang cowok tidur di kamar depan tv ini. Kalian istirahat dulu sekarang,
nanti malem baru kita jalan-jalan,” jelas Kak Irul.
Setelah masuk kamar, kami pun gantian mandi. Kamar
yang kami tempati terlihat aneh. Maklumlah kamar cowok. Risih juga. Malamnya kami
jadi jalan-jalan ke salah satu supermarket. Aku sih cuma window shopping doank. Maklum uang pemberian Ayah nggak terlalu
banyak. Esoknya kami pun pulang diantar Kak Irul ke Stasiun. Kami cuma bisa
bilang makasih sama Kak Irul juga Kak Aziz. Mereka begitu baik. Sekali lagi thanks
Kak. Untung kami masih punya mereka disini. Kalau nggak mereka siapa lagi
yang peduli. Kami pun nunggu kereta datang. Tapi tiba-tiba…
“Kak dompetku kok nggak ada?” Ima tiba-tiba gelisah
mencari dompetnya.
“Yang bener Dek? Coba cari lagi. Mungkin adek lupa
naruhnya tadi,”
“Iya Ma. Mungkin lupa naruh. Sini ku bantuin
nyari,”ujarku.
“Nggak ada Ri nggak ada. Tadi waktu aku nuruni tas,
tasnya udah kebuka,” Ima semakin gelisah mencari dompetnya. Dia khawatir
dompetnya bener-bener hilang.
Tak lama setelah dicari, dompet Ima positif hilang
dicuri. Wajahnya jadi lesu. Soalnya isi dompetnya sejumlah uang, kartu pelajar,
dan kartu ATM. Dia jadi bingung mau pulang pake' apa kalau dompetnya ludes.
“Kalau masalah uang biar kakak pinjemin dulu dek. Kita
ngurus ke bagian keamanan dulu siapa tau bisa dicari atau kalau nggak nanti dapet
surat bukti
hilang agar bisa buat kartu ATM lagi,” hibur kak Irul.
“Makasih Kak. Tapi nggak usah soalnya sisa uang yang
ku punya kayaknya cukup Kak buat ongkos pulang. Oia, aku blokir ATM-ku dulu
kak,” ujar Ima. Kami semua iba pada Ima. Tapi kami pun nggak bisa berbuat
apa-apa.
Kereta kemudian datang. Tak berapa lama Ima dan Kak
Irul pun kembali. Mereka kayaknya bawa selembar surat. Itu mungkin surat yang Kak Irul jelaskan tadi. Kami pun
masuk ke dalam kereta. Kereta kali ini begitu buruk dari kereta dulu yang kami
tumpangi, meski sama-sama Economic
Class. Selain itu
kursi yang semestinya untuk dua orang, kami paksakan jadi tiga. Soalnya
sebagian dari kami kehabisan tiket duduk jadinya terpaksa beli tiket berdiri.
Ini pun kami beli dari calo-calo itu. Fiuh…
benar-benar banyak pengalaman yang ku dapat kali ini mulai dari kegagalan yang
sukses terencana sampai hilangnya dompet Ima. Aku benar-benar kasian liat Ima.
Dia nangis sepanjang perjalanan pulang.
“Sudah ya Ma. Ini cobaan, kamu harus tegar. Relakan
semua Ima,” hiburku.
“Iya
Ri. Ku sudah relain uang dan
isinya. Tapi dompetnya Ri, dompetnya. Dompet itu nyimpan sejuta kenangan
bagiku,” ujar Ima sambil menangis di depanku.
“Iya Ma. Yang sabar ya…”
Akhirnya kusuruh Ima ngaji Yasin. Untungnya aku bawa
Yasin ukuran mini. Setelah itu, dia pun sedikit tenang.
“Sekolah kok tega ya mbak. Lihat kami sekarang jadi
kayak gini. Sekolah bener-bener nggak ada sedikitpun tanggung jawabnya,” dek
Rahman jadi mulai menangis.
“Sudah dek sudah. Mungkin ini nantinya bakal jadi
pelajaran bagi sekolah untuk nggak biarin kita berangkat sendiri,”
Suasana pulang kali ini nggak seperti waktu
berangkat. Nggak ada satu pun yang tersenyum apalagi tertawa (minta digampar
kali). Semua sedang sedih sekarang. Ini pun didukung sukses dengan matinya
lampu kereta. Gelap dan sunyi meramaikan suasana kami sampai perjalanan ini
berakhir. Untungnya bulan juga mau menghibur kami dengar sinar terangnya malam
ini. Keretanya pun melaju dengan amat sangat
lambat sekali luar biasa Allahu Akbar!!! Aku pun juga tak kuasa nahan
air mata malam itu. Pengalaman-pengalaman ini begitu banyak ngajari aku arti
sebuah kehidupan. Dan lebih menghargai makna hidup itu sendiri. Alhamdulillah parnoku kumat lagi…
SELESAI…