Selasa, 23 Agustus 2011

cerpen jadul yg terinspirasi kisah nyata :)


 Agustus 2008     
       
Kambojaku
di
Langit Bogor
Helmy Nur IS

Hari ini aku nekat. Entah setan golongan apa yang sukses merayuku. Aku baru dengar kalau lomba itu untuk semua kalangan siswa. Ku pikir hasil tunjukan guru saja yang boleh ikut. Itu pun aku tau barusan dari Anam, salah satu temanku yang udah siap-siap buat lomba itu sejak  beberapa minggu silam. Sedangkan aku sendiri, yang hanya berbekal harga diri, langsung aja mutusin ikut, dengan ijin orang tuaku tentunya. Meski butuh perjuangan keras mendapat ijin mereka.
“Ayolah Yah.. kapan lagi anakmu yang bodo ini bisa bersaing dengan pelajar-pelajar di seluruh penjuru Nusantara Indonesia,” bujukku pada Ayah di telepon. Terdengar parno memang, tapi itulah usaha kerasku merayu Ayah di rumah.
“Ya sudah..ya sudah.. nanti tantemu yang akan nganterin uang ke asrama. Pesan Ayah, jaga diri baik-baik. Perjalanan ke Bogor itu nggak deket.”
“Yoi, Yah. Insya Allah Nuri bisa jaga diri. Assalamu’alaikum.”
Tanpa basa basi lagi, aku sms Anam.

To : Anam
Assalamu’alaikum,Nam.
Q jd ikt.
bsk brgkt jam brp?
Oia,sp ja yg ikt?



From : Anam
Wa’alaikumsalam. Bsk kumpul d’skul jm 10 pgi.
Yg fis: Q n k’ Ramli.
Kim: km n Adi(brklompok,1 kel. 2 org)
Bio: Husna, Ima,n d’ Rahman(brklompk,1kel. 3 org)
Kom: d’ Dedi

To: Anam
Trims ats infox.Wassalam..                  


Esoknya, semua  berkumpul di gerbang sekolah kecuali Anam dan Kak Ramli. Mereka masih ngurus surat ijin keberangkatan kami ke Kepsek. Wah, keliatannya wajah-wajah mereka tampak bersemangat. Pasti karena masing-masing otak mereka telah terisi berjuta-juta rumus, yang telah mereka kuasai tentunya. Tapi…
“Wah, kayaknya semuanya udah mentok belajarnya ya. Nggak kayak aku yang nekat ikut tanpa persiapan,” Husna mengawali perbincangan.
“Hei kita sama dong,” hampir semua barengan nanggapi Husna, juga aku tentunya.
“Ku pikir cuma aku yang berangkat tanpa persiapan,” Husna kembali menimpali.
“Ku pikir juga begitu,” barengan lagi. Kompak. Yang ini juga tanpa persiapan.
“Berarti yang udah siap cuma Anam dan Kak Ramli?” ucapku lirih.
“Ku dengar memang udah lama mereka siap-siap. Katanya sih, mereka dapet tantangan dari SMA Prima Bakti. Jadi, mereka tambah semangat ,” jelas Ima.
“Kalian masih punya waktu kok nyiapinnya. Lombanya kan masih beberapa hari lagi. Aku emang sengaja ngajak berangkat awal di samping karena penyakitku, kalian juga ada waktu untuk persiapan kan?!” Suara Kak Ramli ngagetin semuanya.
Akhirnya setelah pamit pada guru-guru dan teman-teman, kami berangkat naik bus. Kebayang nggak kalau kami berangkat tanpa guru seorang pun. Padahal pamitku pada Ayah ada guru yang ikut serta. Eh, malah di luar perkiraan. Entah kenapa, tapi katanya semua sibuk dengan urusan masing-masing. Maklum. Lain halnya dengan SMA Prima Bakti tentunya. Selain didampingi guru, katanya mereka juga dibiayai sekolah. Emang pantes soalnya ada Yayasan yang naungi mereka. Tapi tak apalah, meski gitu aku tetap cinta pada sekolahku ini, SMA Pertiwi.
Kira-kira perjalanan Gresik-Surabaya butuh waktu dua setengah jam. Sekarang kami udah sampai di Stasiun Pasar Turi. Ini adalah kali pertamaku ke Stasiun. Lebih tepatnya aku belum pernah naik kereta api. Tiba-tiba aku ingat film Harry Potter. Aku jadi berpikir sekarang aku adalah dia yang bentar lagi akan nembus tembok peron 9¾. Tapi pastinya nggak akan aku lakuin kalau nggak ingin disangka orang kesurupan.


Nggak nyangka matahari udah nggak nemenin kami lagi. Dia udah bertukar tugas tuh sama bulan. Untung aja si bulan mau, buktinya dia lagi cengar-cengir sekarang  nemenin anak-anak nekat yang lagi tidur, kecuali aku. Aku udah bangun karena tadi aku yang tidur duluan. Yang terjaga hanya aku dan dek Dedi. Dia kebagian jam piket jaga. Yang cowok emang piket jagain barang-barang. Yang cewek ya tinggal tidur pulas. Entah kereta ini udah di daerah mana. Yang ku tau kereta Economic Class  ini melaju menuju Stasiun Pasar Senen. Lama-kelamaan mataku pun terpejam kembali.


“Tuut…Tuut…Tuut…”
Suara ini bener-bener bikin telinga bising. Tiba-tiba terbesit pikiran ngeri dari otak anak malang ini. Berarti suara sangkakalanya Isrofil akan lebih dahsyat daripada ini(so pastilah Bro).
“Kita turun sini kak?”tanya Adi.
“Katanya kak Aziz sih gitu. Tunggu! ku tanya dulu ya,” kak Ramli lalu ngambil handphonenya terus mencet-mencet beberapa tombol. Dia nelpon kak Aziz, salah satu alumni SMA Pertiwi yang kuliah di IPB. Katanya sih dia yang akan bantuin kami selama disana.
“Katanya kak Aziz turun di stasiun Jatinegara ini juga bisa. Tapi biasanya kalau Kak Aziz sendiri turun di Stasiun Manggarai. Tapi khawatir nanti nggak kebagian kereta jurusan Bogor jadinya turun disini aja,” jelas Kak Ramli.
“Terserah kak Ramli aja deh,”ucap Rahman.
Kami pun turun. Pemandangan beda kurasakan. Di sekitar stasiun ini bertebaran rumah-rumah kumuh berpenghuni. Miris hati ngeliatnya emang. Di sekitar rumah-rumah itu pastilah bakteri dan penyakit sedang menari dan berdansa gembira. Gembira karena mangsa-mangsa mereka tak kunjung pergi. Bukannya sang penghuni betah tapi inilah pilihan hidup. Berani memilih berarti berani mengambil resiko. Mereka berani ninggalin kampung halaman cuma buat taruhan nasib di ibukota tanpa pikir jangka panjang.
Parnoku kambuh lagi. Bukannya aku tak beda jauh dari mereka yang berani berangkat tanpa modal. Tapi kan resikoku beda dengan mereka. Paling-paling kalah. Tapi mereka lain. Ah sudahlah, gara-gara ikutan lomba ini pikiranku jadi kemana-mana.
Ternyata kami salah turun. Kereta jurusan Bogor lagi nggak mampir stasiun ini. Kami mesti ke Pasar Senen untuk mendapatkannya. Benar-benar sial hari ini. Terpaksa kami naik kereta jurusan Pasar Senen lagi. Beruntung sampai sana keretanya belum berangkat.
“Wah inilah resiko kalau nggak pengalaman naik kereta. Jadi sedikit kesasar kan?” ujar Anam.
“Itu kan wajar. Tapi ada untungnya juga loh. Liat coba disana!” Ima nunjuk keluar jendela. Ternyata kami bentar lagi akan lewat Monas. Aku segera bergegas ngambil kamera videoku. Maklum belum pernah ke Jakarta sih. Jadi, naluri ndesoku muncul.
Perjalanan Jakarta-Bogor lumayan lama. Sekitar menghabiskan  waktu hampir dua jam. Melelahkan juga perjalanan ini, pikirku. Ternyata bukan cuma melelahkan, tapi merontokkan sendi-sendi tulangku. Pasalnya, setelah sampai Bogor, kami mesti nyewa angkutan. Maklum kami kan rombongan.
“Sudahlah Dek, bayar 50ribu aja deh. IPB itu lumayan jauh loh. Apalagi IPB Dermaga. Itupun saya sudah kasih murah loh sama adek,” sopir ini mulai mengoceh membujuk kami.
Bagi kami yang nggak pengalaman, setuju aja sama ucapannya. Habisnya mau diapain lagi. Badan udah rontok semua. Rasanya ingin keburu melempar diri di kasur empuk sambil ada yang mijitin. Habis itu berendam di air kembang kamboja sambil ngemil (ngayal Bro).
Ternyata Kak Aziz udah nungguin kami di jalan.
Terus kami di bawa ke rumah kontrakannya. Jarum jam ternyata udah geser ke angka sepuluh pagi. Tak terasa perjalanan ini ngabisin waktu yang begitu lama.
“Maaf Dek rumahnya sempit dan juga sedikit berantakan. Maklumlah mahasiswa,” kata Kak Aziz sambil bawa minum buat kami.
“Oia, nanti yang cewek tidur di asrama temen cewek kakak. Tempatnya nggak jauh dari sini kok. Sekarang duduk-duduk dulu bentar. Pasti capek kan?! Bentar lagi kakak anterin” tambah Kak Aziz.
“Iya Kak,”ujarku, Ima Dan Husna.
Nggak lama kemudian Kak Aziz nepatin janjinya. Dia nganterin kami kesana. Jalan sana sempit dan muter-muter. Jadi bingung ngafalinnya. Setelah sampai di asrama itu, aku pun sukses tak ingat sedikit pun.
“Kalian tinggal disini sekarang. Nanti malem kalau mau makan, hubungi kakak. Kalian pasti nggak inget jalannya kan?! Makanya nanti malem kakak akan jemput kalian di sini bareng temen-temen cowoknya,” jelas kak Aziz.
“Makasih kak,” ucap kami bertiga sambil berlalu masuk ke dalam asrama yang didampingi salah satu mbak penghuni.
Kami pun mengakrabkan diri dengan mbak-mbak asrama ini. Yang nggak ramah ada, yang ramah banyak. Sifat-sifat manusia beda kan?!
“Kalian adek kelasnya Aziz ya? Ada acara apa Dek di sini?” tanya mbak  yang kerudung coklat, namanya mbak Yeni.
“Itu mbak katanya IPB ngadain acara Pesta Sains. Ya, semacam lomba-lomba sains gitu mbak,”sahutku.
“Oia, yang ngadain itu temen-temen fakultas MIPA ,”ujarnya. Maklum dia nggak tau karena kayaknya mbak Yeni ini fakultas informatika. Aku bisa liat dari buku-buku yang lagi jejer di kamarnya.
“Kalian bertiga tidur di kamar depan itu ya. Itu kamar paling luas disini. Jadi insya Allah muat,” ujar mbak Yeni sambil berlalu pergi.
Sepeninggal mbak Yeni kami pun mandi terus tidur pulas sepulas-pulasnya, setelah shalat Dhuhur tentunya. Malamnya, kami cari makan diluar, bareng temen-temen cowok. Begitulah tiap harinya. Kak Aziz begitu baik bantuin kami bahkan dia juga ngajari aku dan Adi kimia. Ternyata selain suka computer, kabarnya dia juga suka kimia. Tapi sehari sebelum lomba dimulai, muncul masalah. Masalahnya terletak pada aku dan Adi. Ternyata lomba kimia ini berisi tiga orang per kelompok. Kami salah info lagi rupanya. Malamnya kami dan panitia lomba berusaha nyelesein masalah ini. Mereka nggak peduli pada kami sepertinya. Malam itu, nyaris air mataku netes. Aku takut kalau-kalau aku nggak bisa ikut lomba ini. Jauh-jauh kesini masa nggak dapet apa-apa, pikirku. Apa panitia ini nggak mikir kalau dia di posisiku rasanya gimana.
“Kami sebenernya nggak keberatan. Tapi, kami takut peserta lain komplain ke panitia. Kalau ngirim dua bisa, kenapa harus tiga. Takutnya kayak gitu,” ujar salah satu panitia.
“Kalau gitu insya Allah bisa kami atasi. Waktu tehnical meeting besok aku sendiri yang akan ngejelasin ke semua peserta,” kata-kata Kak Ramli sedikit menghibur. Kalau udah begitu panitia nggak bisa berbuat apa-apa. Kami tinggal berdoa semoga para peserta besok nggak kan bikin repot kami.
“Kalau emang besok pesertanya nggak mau diajak kompromi, kakak jadi berpikir rencana nakal. Tapi meski itu nggak mungkin,” kata kak Aziz sambil tersenyum.
“Rencana apa kak?” tanya Adi.
“Aku yang bakalan ngelengkapi kelompok kalian biar pas tiga orang. Tapi temen-temenku pasti ngenalin aku,” canda kak Aziz. Ya iyalah, pikirku. Aku jadi inget peristiwa di sekolah beberapa minggu silam. Salah satu temanku bikin sensasi. Dia bareng salah satu alumni ikutan lomba. Kalau lolosnya sih pasti. Tapi pada akhirnya ketauan sekolah kalau mereka curang. Kena marah dia jadinya. Dan aku nggak akan biarkan itu terjadi padaku.


Ternyata peserta lain nggak ada yang komplain. Malahan  ada peserta dari Singaraja yang bernasib sama denganku. Paling-paling pikir mereka ngapain ngurusin orang. Toh urusan mereka mau ngirim dua atau satu orang. Yang penting kan nggak empat atau lima dalam satu kelompok. Kalau dipikir-pikir mana ada otak dua bisa ngalahin otak tiga.

“Gimana udah siap dek? Meski kalian cuma berdua siapa tau bakalan juara,” hibur kak Ramli. Hatiku berkata amien meski hati lain berkata itu mustahil terjadi.
“Insya Allah siap kak,”ujarku sambil jalan ke ruangan lomba.
Ruangan itu adalah aula yang amat luas. Sebelum masuk aku sempat baca kalau itu adalah gedung wisuda. Gedungnya kayak stadion bola cuma di bagian atas diberi penutup. Panggungnya di hiasi ornamen-ornamen mewah. Tetapi nggak terkesan sombong karena ada sentuhan gubuk jerami di pinggir. Gubuk itu tempat beroperasinya sound system dan peralatan elektronik lainnya. Ada panggung lagi di sebelah panggung ini. Cuma sedikit lebih sempit. Disana berdiri sejumlah pria dan wanita. Mereka dari tadi berceloteh lagu-lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Merdu emang. Namanya juga paduan suara. Aku nikmatin itu sambil buka-buka buku. Meski cuma berdua, di hati kecilku ada harapan untuk lolos meski cuma berhenti di semi final.
Setelah mereka bernyanyi, muncul beberapa penari di panggung. Aku juga nggak tau tarian apa yang mereka bawa. Mungkin karena aku bukan pecinta seni. Tapi semuanya terlihat menikmati tak terkecuali Adi di sampingku, Husna, Ima, dan Rahman di deretan peserta biologi, Anam dan Kak Ramli di deretan Fisika, dan yang terakhir Dedi di deretan peserta komputer. Kami dipisahkan menurut bidang masing-masing yang diikuti. Tapi meski gitu kami bisa liat satu sama lain dari kejauhan, kecuali Dedi yang ada di bawah, tepat di depan panggung tarian itu. Mungkin dia sedikit sulit mencari kami yang di atasnya karena emang peserta yang banyak banget. Tapi dia beruntung juga bisa liat jelas tarian itu.
Tariannya selesai, trus pembawa acaranya keluar. Mereka mulai deh berbasa-basi ria. Tapi nggak lama lomba ini pun mulai sesaat setelah pembukaan yang di tandai bunyi gong itu selesai. Soalnya seratus multiple choice di tambah dua essay dalam waktu seratus duapuluh lima menit. Ku akui memang soalnya hebat. Hebat karena aku dibuat bingung. Mungkin bukan hanya bingung tapi kepalaku terasa penuh sesak oleh soal-soal ini. Dipikir-pikir itu wajar karena soal ini emang layaknya dikerjain untuk tiga orang. Jadi, aku dan Adi kewalahan ngerjainnya. Soal essay pun nggak sempat kami jamah.
Setelah acara pemusingan otak itu, kami diperintahkan naik bus untuk shalat. Pantas kami naik bus soalnya masjidnya lumayan jauh. Ternyata IPB luas juga ya. Penyakit kampunganku kumat. Selesai shalat kami makan siang yang ternyata disediain panitia. Nggak rugi ternyata bayar mahal-mahal. Habis itu pulang soalnya pengumumannya besok. Harapan sih masih tetep ada meski berkurang sekian ratus ribu persen setelah ngerjain soal tadi.


Esoknya, pengumuman keluar dan hasilnya aku dan Adi sukses meraih kegagalan yang sempurna. Diambil sepuluh orang dari sekitar seratus tigapuluh peserta untuk melaju ke babak semi final. Kami diurutan limapuluhan. Kami sedikit bangga bisa ngalahin otak tiga yang ada di bawah peringkat kami. Tapi sebenarnya kalah ya kalah. Mau peringkat berapapun kalau nggak lolos ya namanya gagal. Tapi, meski kami nggak masuk, ada Anam dan Kak Ramli yang lolos. Mereka memang hebat. Kalau persiapan sudah matang terus apalagi yang ditunggu kalau nggak kesuksesan. Kami-kami yang nggak lolos juga sudah sadar kekurangan masing-masing. Meski tersisa sedikit ketidakikhlasan di hati. Lain halnya dengan sekolah saingan kami, SMA Prima Bakti. Ada wakil yang lolos di setiap bidang yang mereka ikuti. Pantaslah kalau mereka lolos. Beda kematangan konsep pastinya. Kami-kami yang nggak lolos ternyata di hibur oleh seorang pembicara. Namanya Fauzan Ahmad. Dia benar-benar menghibur, menyemangati, dan mengokohkan kemantapan hati kami yang agak rapuh. Dia ngasih kami pencerahan kalau kegagalan itu bukan segalanya. Jangan hanya karena gagal kita jadi putus asa. Kita harus jadi seorang pemain. Bukan seorang penonton. Kita harus siap ditonton dan pantas untuk untuk dijadikan tontonan. Jangan hanya mau liat dan nonton saja. Kita harus bergerak maju sendiri. Itulah beberapa kalimat yang kupetik darinya. Hatiku benar-benar dicuci waktu itu. Bersih. Benar-benar bersih. Air mataku pun tak malu-malu keluar. Kayaknya semua yang hadir pada saat itu ngalamin hal yang sama. Di dada kami muncul semangat baru. Semangat untuk berjuang maju(he..he.. ceritanya insaf ni..).
Usai acara ini kami digiring ke dalam bus untuk shalat. Setelah itu makan siang dan nonton acara grand final di ruangan-ruangan yang telah ada sesuai bidangnya. Habis itu aku shalat di salah satu musholla terdekat. Karena kalau ke masjid terlalu jauh rasanya. Setelah shalat ashar ini tiba-tiba salah satu guru nemuin aku. Beliau adalah guru SMA Prima Bakti.
“Mbak, mbak ini dari SMA Pertiwi kan? Ramli kecelakaan. Kepalanya berdarah. Mendingan mbak kesana saja,” ujar beliau sambil nunjuk ke suatu tempat.
Astagfirullah, makasih ibu,” aku langsung lari ninggalin ibu itu.
Ternyata benar apa yang ibu itu katakan. Kak Ramli terlihat kesakitan sambil megang kepalanya yang berdarah. Darah kayaknya nggak mau berhenti keluar. Kepalanya bocor. Di sekitar kak Ramli ada Anam dan Adi. Tapi tak lama kemudian Adi keluar sambil membawa tas Kak Ramli. Lalu aku pergi ke Anam.
“Kak Ramli kok bisa berdarah-darah gitu, Nam? kejadiannya gimana?” tanyaku.
“Gini loh. Tadi itu kak Ramli lari-lari sambil bawa kameramu. Dia lewat di bawah tembok tangga itu. Akhirnya karena nggak ati-ati kepalanya kebentur dan sekarang jadi kayak begitu,” jelas Anam.
“Trus kameraku dimana Nam? Nggak jatuh kan?” aku jadi khawatir dengan kameraku. Bukannya aku nggak ngawatirin Kak Ramli juga. Tapi Ayah akan mencincangku kalau tau kameraku kenapa-napa.
“Nggak apa-apa cuma kena sedikit cipratan darahnya Kak Ramli. Tapi sudah di bersihin kok. Ini..,” Anam nyerahin kameranya ke aku sambil cengengesan.
Kak Ramli akhirnya dibawa ke rumah sakit untuk dijahit. Sedangkan aku dan lainnya kembali lagi ke gedung wisuda karena bentar lagi juara-juaranya akan diumumin. SMA Pertiwi hanya berharap pada Anam dan Kak Ramli. Kalau SMA Prima Bakti hanya seorang saja soalnya lainnya udah pada gagal. Kalau begitu kami lumayan sedikit menang.
Acara pengumuman pun di mulai. Teriakan-teriakan histeris bermunculan kala namanya atau nama temannya disebut. Mereka bangga dan bahagia.  Ternyata aku pun nggak nyangka kalau kami akan gitu juga. Nama Kak Ramli dan Anam disebut sebagai juara kedua dan ketiga. Yang begitu mengejutkan juga juara pertama diraih oleh anak SMA Prima Bakti. Ketiga-tiganya dari Gresik. Hebat. Suara tepuk tangan pun ramai. Aku pun ikutan bangga meski yang meraih medali itu bukan aku. Aku jadi inget Kak Ramli. Sayangnya, dia nggak bisa nikmatin momen-momen bahagianya bareng kami disini.
Acara ini pun selesai. Capek baru kami rasakan setelah sampai di asrama. Mbak-mbak pun keliatannya capek juga. Kami pun langsung tidur setelah mandi dan shalat. Karena esoknya kami akan pulang. Tapi sebelumnya kami mau mampir dulu di Kebun Raya.


Selain Kak Aziz, ada juga alumni SMA Pertiwi lainnya. Dia Kak Irul. Tapi kuliahnya di IPB Padjadjaran. Dia yang ngajak kami jalan-jalan ke Kebun Raya. Katanya mumpung lagi di Bogor sayang kalau nggak jalan-jalan. Kami sih kalau diajak jalan-jalan ya pasti mau. Tapi sayang Kak Ramli nggak ikut soalnya dia pulang duluan naik pesawat. Mungkin karena luka kemaren. Tapi nggak begitu parah kabarnya.
Setelah naik angkutan ini itu kami pun nyampek di Kebun Raya. Namanya juga kebun. Pasti isinya pohon-pohon, rumput dan taneman. Tapi selain itu tepat di tengah-tengah kebun berdiri megah Istana Bogor. Bagus. Istana Bogor Bro. Nggak terlalu jauh di depannya, ada telaga yang lagi tiduran santai santai. Kami pun foto-foto disitu. Habis itu kami ke museum dan terus mengelilingi kebun sampai benar-benar capek. Itu pun belum semua. Soalnya kebunnya luas buanget sampai nggak bisa aku gambar disini. Sorry ya,hehe . Dari keasyikan maen sampai kami lupa mau pulang.
“Wah Dek ini udah siang. Jadi pulang sekarang? Kayaknya kalau sekarang kita ke Stasiun, keretanya udah berangkat,” jelas Kak Irul.
“Berangkat Kak? Trus kami gimana?”tanya Dedi.
“Gini aja. Kalian nginep dikontrakan kakak aja dulu. Trus besok pagi baru pulang. Nanti malem sekalian jalan-jalan. Mumpung di Bogor loh dek,” ajak Kak Irul. Pikiran Kakak ini kayaknya dipenuhi jalan-jalan dan jalan-jalan. Tapi apa boleh buat kami toh nggak punya pilihan lain. Akhirnya semua setuju. Habis dari sini kami akan ngebuntutin Kak Irul ke kontrakannya, terkecuali si Anam. Katanya, dia mau ke rumah om nya di Jakarta.
Kami pun sampai di kontrakan. Disini penghuninya kaum Adam semua. Aku jadi sedikit ngeri plus takut.
“Kalian santai aja. Yang cewek tidur di kamar kakak disana. Yang cowok tidur di kamar depan tv ini. Kalian istirahat dulu sekarang, nanti malem baru kita jalan-jalan,” jelas Kak Irul.
Setelah masuk kamar, kami pun gantian mandi. Kamar yang kami tempati terlihat aneh. Maklumlah kamar cowok. Risih juga. Malamnya kami jadi jalan-jalan ke salah satu supermarket. Aku sih cuma window shopping doank. Maklum uang pemberian Ayah nggak terlalu banyak. Esoknya kami pun pulang diantar Kak Irul ke Stasiun. Kami cuma bisa bilang makasih sama Kak Irul juga Kak Aziz. Mereka begitu baik. Sekali lagi thanks Kak. Untung kami masih punya mereka disini. Kalau nggak mereka siapa lagi yang peduli. Kami pun nunggu kereta datang. Tapi tiba-tiba…
“Kak dompetku kok nggak ada?” Ima tiba-tiba gelisah mencari dompetnya.
“Yang bener Dek? Coba cari lagi. Mungkin adek lupa naruhnya tadi,”
“Iya Ma. Mungkin lupa naruh. Sini ku bantuin nyari,”ujarku.
“Nggak ada Ri nggak ada. Tadi waktu aku nuruni tas, tasnya udah kebuka,” Ima semakin gelisah mencari dompetnya. Dia khawatir dompetnya bener-bener hilang.
Tak lama setelah dicari, dompet Ima positif hilang dicuri. Wajahnya jadi lesu. Soalnya isi dompetnya sejumlah uang, kartu pelajar, dan kartu ATM. Dia jadi bingung mau pulang pake' apa kalau dompetnya ludes.
“Kalau masalah uang biar kakak pinjemin dulu dek. Kita ngurus ke bagian keamanan dulu siapa tau bisa dicari atau kalau nggak nanti dapet surat bukti hilang agar bisa buat kartu ATM lagi,” hibur kak Irul.
“Makasih Kak. Tapi nggak usah soalnya sisa uang yang ku punya kayaknya cukup Kak buat ongkos pulang. Oia, aku blokir ATM-ku dulu kak,” ujar Ima. Kami semua iba pada Ima. Tapi kami pun nggak bisa berbuat apa-apa.
Kereta kemudian datang. Tak berapa lama Ima dan Kak Irul pun kembali. Mereka kayaknya bawa selembar surat. Itu mungkin surat yang Kak Irul jelaskan tadi. Kami pun masuk ke dalam kereta. Kereta kali ini begitu buruk dari kereta dulu yang kami tumpangi, meski sama-sama Economic Class. Selain itu kursi yang semestinya untuk dua orang, kami paksakan jadi tiga. Soalnya sebagian dari kami kehabisan tiket duduk jadinya terpaksa beli tiket berdiri. Ini pun kami  beli dari calo-calo itu. Fiuh… benar-benar banyak pengalaman yang ku dapat kali ini mulai dari kegagalan yang sukses terencana sampai hilangnya dompet Ima. Aku benar-benar kasian liat Ima. Dia nangis sepanjang perjalanan pulang.
“Sudah ya Ma. Ini cobaan, kamu harus tegar. Relakan semua Ima,” hiburku.
Iya Ri. Ku sudah relain uang dan isinya. Tapi dompetnya Ri, dompetnya. Dompet itu nyimpan sejuta kenangan bagiku,” ujar Ima sambil menangis di depanku.
“Iya Ma. Yang sabar ya…”
Akhirnya kusuruh Ima ngaji Yasin. Untungnya aku bawa Yasin ukuran mini. Setelah itu, dia pun sedikit tenang.
“Sekolah kok tega ya mbak. Lihat kami sekarang jadi kayak gini. Sekolah bener-bener nggak ada sedikitpun tanggung jawabnya,” dek Rahman jadi mulai menangis.
“Sudah dek sudah. Mungkin ini nantinya bakal jadi pelajaran bagi sekolah untuk nggak biarin kita berangkat sendiri,”
Suasana pulang kali ini nggak seperti waktu berangkat. Nggak ada satu pun yang tersenyum apalagi tertawa (minta digampar kali). Semua sedang sedih sekarang. Ini pun didukung sukses dengan matinya lampu kereta. Gelap dan sunyi meramaikan suasana kami sampai perjalanan ini berakhir. Untungnya bulan juga mau menghibur kami dengar sinar terangnya malam ini. Keretanya pun melaju dengan amat sangat lambat sekali luar biasa Allahu Akbar!!! Aku pun juga tak kuasa nahan air mata malam itu. Pengalaman-pengalaman ini begitu banyak ngajari aku arti sebuah kehidupan. Dan lebih menghargai makna hidup itu sendiri. Alhamdulillah parnoku kumat lagi…
                       



SELESAI…     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar